Angga si penabur bunga

Memasuki halaman sekolah, seperti memasuki sebuah taman bunga. Warna-warni krisan, bunga ashar, kembang sepatu, anggrek bulan dan bougenvile tersebar di seluruh sudut sekolah. Khusus di depan kelas satu, ada beberapa tangkai mawar tumbuh mekar.

Kesejukan yang membuat kupu-kupu betah ini tidak akan dapat dinikmati tanpa ada seseorang yang menanamnya, dan orang itu adalah Angga, sahabatku saat duduk di bangku kelas satu SMA.

Jadi teringat satu tahun silam, ketika Angga baru masuk ke sekolah…

Teman-teman yang lain menganggapnya aneh, di hari pertamanya masuk sekolah, ia membuat kehebohan dengan menaruh vas bunga berisi bunga kamboja di meja belajar kami, termasuk meja guru. Tiap hari ia mengganti kuntum-kuntum kamboja yang layu, hingga suasana kelas pun jadi terasa seperti di pemakaman.

Tubuhnya begitu kurus, sepasang matanya selalu kelihatan pucat dan sayu. Dari kejauhan ia lebih terlihat seperti tiang listrik. kepalanya plontos, sebuah topi berwarna biru tua dengan setia menjaganya dari sengatan matahari.

Pagi-pagi sekali Angga sudah tiba di sekolah- melebihi aku yang kebagian jadwal piket- Di pagi ini ia membawa sekeranjang pot bunga yang beraneka macam.

” Bisa bantu aku menanam bunga-bunga ini?” Pintanya padaku sambil terus menaruh pot-pot bunga di lantai.

” Kamu sudah minta izin pada pak kepala sekolah?” Tanyaku.

” Tenang saja, tidak akan ada yang marah, semua orang malah akan berterima kasih karena telah menghijaukan sekolah yang gersang ini.”

Jadilah sepanjang pagi kuhabiskan waktu dengan mencangkul, menaruh bibit bunga, merapikan pot. Dan bersama Angga, aku menanam bibit mawar di depan kelas kami. Sebelum para siswa berdatangan, setengah dari pekerjaan menanam bunga telah selesai.

” Sebelum pulang sekolah, kita siram bunga-bunga ini dulu ya.” Katanya, dan aku hanya bisa meng-iya kan.

Satu hal lagi yang membuat Angga unik adalah ia selalu memberi hadiah bunga jika ada murid yang berulang tahun, banyak yang suka, tapi tidak sedikit juga yang murka! Seperti teh Euis, ia malah harus di larikan ke puskesmas karena kulitnya yang sensitif alergi pada benang sari, saat Angga memberinya setangkai bunga sepatu. Atau Mahmud, yang marah-marah ketika Angga memberinya sekuntum mawar di hari ulang tahunnya, di depan orang banyak!

Namun, ia tetap Angga si penebar bunga, dimana ada bunga, di situ ada Angga. Pernah suatu ketika aku tanya kenapa ia sangat menyukai bunga-bunga, lantas ia menjawab,

” Karena aku ingin di hari kematianku nanti, aku ingin ada banyak bunga yang menaburi pusaraku, dan semoga bunga-bunga ini dapat menjadi kenang-kenangan setelah aku tiada.” Sungguh jawaban yang aneh.

***

Sudah beberapa hari ini Angga tidak masuk sekolah, hingga kuntum-kuntum kamboja pun layu, dan aku harus menyiram tanamannya sendirian. Kemana Angga? Apakah ia sudah tidak mencintai bunga-bunga yang ia tanam sendiri?

Hingga kabar itu pun datang..

Kabar yang memberitahukan, bahwa Angga tengah di rawat di UGD sebuah rumah sakit. Aku dan beberapa teman datang untuk membesuknya. Tepat di depan ruangan di mana Angga di rawat, kami melihat seorang ibu tengah terisak, ibunya Angga. Setelah mengetahui kalau kami berniat hendak membesuk putranya, ibu Angga pun menceritakan, bahwa Angga sudah lama menderita cacat jantung sejak lahir, sungguh sebuah keajaiban ia masih bisa hidup sampai usianya remaja, tapi meski begitu, Angga tetap bersemangat untuk sekolah.

Hingga, lambat laun, tubuh Angga pun melemah, hari ini ia terbaring tak berdaya, dan satu menit yang lalu, Angga menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya, meninggalkan kuntum-kuntum kesedihan di dasar hati, yang masih tidak percaya kalau Angga sudah tiada…

***

Memasuki halaman sekolah, seakan memasuki sebuah ruang masa lalu, yang seakan terus mengingatkan pada nuansa warna sendu. Ah, andai Angga masih ada, tentu ia dapat tersenyum ceria melihat kupu-kupu merubungi bunga-bunga yang indah merona.

Sukabumi, 2006

Dimuat di Tabloid Remaja Sukabumi

catatan:

Cerpen di atas aku tulis waktu SMA, kelas tiga kalau gak salah, waktu senang-senangnya metik bunga di sepanjang jalan menuju ke sekolah, lalu menaruhnya di atas meja…

Teman-teman bilang aku aneh, dan aku tidak peduli, aku hanya ingin menyatu dengan warna di lembar-lembar mahkota bunga, mewarnai hari…

cerpen ini sempat di publikasikan di media cetak, Sebuah tabloid remaja lokal, waktu itu dengan pedenya aku masuk ke kantor tabloid Remaja itu, menyerahkan beberapa cerpen dan puisi langsung ke redaksi. Setelah itu, tiap minggu aku singgah ke tukang koran, sekedar melihat kalau-kalau karyaku sudah di muat, dan setelah penantian yang lumayan panjang, berapa minggu ya, cerpen dan satu puisiku pun di muat juga. Besoknya aku mampir lagi ke kantor redaksi, menyerahkan cerpen dan puisi baruku, sekalian ngambil marchandise sebagai kenang-kenangan dari tabloid ^^

Tadi aku ngobok-ngobok koleksi bukuku di gudang, siapa tahu arsipnya masih ada, dan memang masih ada, meskipun sudah sobek-sobek dan kotor…

hmmm… Dan sampai sekarang aku masih senang menulis tentang bunga ^^

~ oleh lelakirumput pada Januari 23, 2010.

Tinggalkan komentar